SAGU
KEARIFAN LOKAL INDONESIA SEBAGAI SOLUSI
MASALAH PANGAN DAN BIOENERGI
Almagit
Husni Hofsah
Mahasiswa S1 Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB,
Jl. Meranti, Kampus IPB
Dramaga Bogor 16680.
ABSTRAK
Sagu merupakan salah satu kearifan
lokal Indonesia yang dapat diangkat untuk mengatasi masalah pangan dan energi
yang kita hadapi saat ini dan dimasa depan. Sagu telah menjadi sumber
karbohidrat penting bagi sebagian penduduk Indonesia terutama di Wilayah
Indonesia Bagian Timur. Percepatan pemanfaatan teknologi pegolahan sagu secara
lebih luas akan menjadikan sagu sebagai salah satu komponen dalam menunjang
ketahanan pangan nasional yang lebih tangguh. Sagu juga merupakan bahan baku
bioenergi, terutama bioetanol, yang sangat potensial. Tidak ada satu sumber
bioetanol yang lebih potensial dibandingkan Sagu dengan potensi hasil bahan
baku mencapai 20-40 ton/ha/tahun. Pemanfaatan pati sagu menjadi etanol
merupakan salah satu usaha dalam rangka diversifikasi bahan bakar. Nilai kalori
dan gizi sagupun tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras,
jagung, ubi, dan kentang.
Kata kunci :
Sagu, Pangan, Bioenergi.
PENDAHULUAN
Kecukupan bangan merupakan preoritas
semua bangsa dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Segala sumberdaya dikerahkan
untuk membudidayakan tanaman terutama tanaman sumber karbohidrat. Tak
terkecuali Negara-negara maju yang padat modal tetap mengedepankan produksi
pangan untuk memenuhi kebutuhan rangkatnya. Indonesia yang notabe Negara
angaris masih kekurangan pangan dan mengalami kerawanan pangan. Begitupula
dengan kebutuhan akan energi yang semakin besar sedangkan sumber energi dari
alam semakin menipis. Berbagai upaya telah dilakukan oleh manusia memenuhi
ketersedian energi namun demikian sumber energi yang tidak terbaharukan dan
sumber daya alam sangat terbatas. Jika tidak menemukan solusi permasalah energi
ini dapat mengancam keamanan dan kelangsungan hidup manusia contoh kelangkaan
energy dan dampaknya adalah berita mengenai perebutan kota minyak (Brega) di libya
yang mengabibatkan perang. Oleh karena itu manusia harus mencari sumber energi
alternatif yang terbaharukan namun tidak membahayakan ketersediaan pangan.
Berikutnya Harga minyak dunia yang terus
naik mendorong pembengkakan subsidi BBM melampaui alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Realisasi konsumsi bahan bakar minyak
meningkat dibandingkan tahun lalu. Sejak Januari hingga Maret konsumsi
sudah mencapai 9,7 juta kiloliter. Hal ini sangat berpotensi melampaui target
konsumsi BBM bersubsidi tahun ini sebesar 38,6 juta kilo liter. Untuk Menyelamatkan
APBN dari pembengkakan subsidi pemerintah berniat melakukan berbagai upaya
mulai dari pembatasan hingga menaikkan harga BBM.(sufa, 2011)
Mencari dan menemukan sumber karbohidrat alternatif untuk pangan dan
enregi terbarukan sudah sangat mendesak untuk dilakuaka. Sagu merupakan tanaman
asli tanaman Indonesia dan merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang
dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia.
Sagu merupakan penghasil karbohidrat
tertinggi yang potensial menjadi alternatif tanamn pangan selain padi, jagung,
dan umbi-umbian untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Sagu juga telah lama
dikenal sebagai bahn makanan pokok di Indonesia terutama didaerah Maluku, papua
Sulawesi, dan kepulauan mentawai di Sumatra barat.
Pati sagu merupakan makanan pokok
penduduk asli Maluku dan Papua, terutama yang bermukim di daerah dataran
rendah. Bagi
masyarakat Papua sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi dan budaya serta
ekologi yang cukup penting. Karena selain sebagai makanan khas terutama yang
berada di daerah pesisir pantai ternyata sagu juga dapat dijadikan sebagai
bahan baku pembuatan spiritus atau alkohol. Daunnya dapat digunakan sebagai
atap rumah, pelepahnya untuk dinding dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai
pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.
Mengapa harus sagu? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
melihat kondisi obyektif potensi sagu dalam prospek ketahanan pangan dan energi
nasional. Lahan sagu di Indonesia cukup luas kurang lebih 1,2 juta ha yang
sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal baik yang ada di alam maupun
melalui budidaya (148.000 ha). Di Indonesia pada awalnya masyarakat tidak
mengkonsumsi beras, khususnya di kawasan timur Indonesia seperti Maluku dan
Papua dimana sejak turun temurun mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok.
Kearifan lokal mengkonsumsi sagu tersebut seharusnya
ditopang dengan kebijakan dan strategi serta upaya pemerintah. Sehingga dapat
memperkaya cadangan komoditi pangan nasional, bukan sebaliknya bahkan terkesan
diabaikan dan seolah-olah seluruh rakyat Indonesia harus makan beras. Sadar
atau tidak pemerintah telah memastikan kearifan lokal yang nota bene merupakan
harkat dan rahmat Tuhan yang telah menciptakan areal sagu terbesar di dunia.
POTENSI
TANAMAN SAGU
Secara nasional sagu termasuk tanaman unggulan namun
pengembangannya belum ditangani secara maksimal dan intensif. Prospek
pengelolaan sagu (Metroxylon) Indonesia untuk ketahanan pangan dan energi
nasional sangat menjanjikan di masa depan. Potensi luas Hutan Sagu di Indonesia
adalah kurang lebih 1.250.000 ha dan budidaya sagu kurang lebih 148.000
ha.
Papua merupakan pusat sebaran sagu alami terbesar didunia dengan perkiraan areal kurang lebih1.200.000 ha atau 53 persen dari sagu dunia (2.250.000 ha), dan 96 persen dari luas sebaran alami sagu Indonesia.(Budiono, 2009)
Papua merupakan pusat sebaran sagu alami terbesar didunia dengan perkiraan areal kurang lebih1.200.000 ha atau 53 persen dari sagu dunia (2.250.000 ha), dan 96 persen dari luas sebaran alami sagu Indonesia.(Budiono, 2009)
Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat tertinggi per
satuan luas. Dalam satu batang sagu terdapat pati 200-400 kg. dimaluku produksi
pati kering dapat mencapai 345 kg/pohon. Di Jayapura beberapa peneliti jepang
menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. Apabila sagu
diusahakan sebagaimana layaknya tanaman perkebunan lainnya yang ditanam secara
teratut dengan jarak 10m x 10 m maka
dalam satu hektar terdapat 100 pohon sagu. Jika dalam satu pohon terdapat 300
kg pati kering maka dalam satu hektar dapat dipanen 30 ton pato
kering.(Bintoro, 2008)
pengelolaan sagu nasional untuk meningkatkan ketahanan pangan
dan energi nasional. untuk mengembangkan program sagu yang memiliki nilai guna
cukup tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhan industri yang menggunakan sagu
sebagai bahan baku, maupun diversifikasi pangan dan energi (Etanol) yang ramah
lingkungan untuk kesejahteraan rakyat demi terwujudnya ketahanan ekonomi
nasional.
Sagu dapat
dimanfaatkan untuk makanan pokok, industry makanan, jajanan, keperluan industry
kimia, bahan baku industri kosmetik, farmasi dan pestisida. Bahan baku penyedap
makanan, pakan ternak, industry kertas, industry tekstil, bahan baku plastik
ramah lingkungan, bahan bioetanol dan lain-lain. Sagu bila dikelola dengan
tepat dapat meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan.(Bintoro et al., 2010)
Kebutuhan
karbohidrat seluruh penduduk Indonesia saat ini
sekitar 30,2 juta ton, hal ini berarti tanaman sagu sekitar 1 juta
hektar dapat memenuhi karbohidrat seluruh bangsa Indonesia. Seandainya tidak
digunakan sebagai makanan pokok, tetapi dijadikan gula cair, maka seluruh
kebutuhan gula dapat tercukupi dari pengolahan pati sagu. (Bintoro et al., 2010)
Penelitian dan pengembangan pada pusat-pusat riset alam yang
handal dan professional di daerah perlu diupayakan untuk menemukan
varietas-verietas sagu unggulan dalam rangka optimalisasi nilai guna sagu dan
pemanfaatanya untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional, regional dan
internasional.
menitikberatkan pada sagu sebagai potensi yang terabaikan dalam prospek ketahanan pangan dan energi nasional. Perlu juga diperhatikan seberapa besar peluang yang ada bagi pembangunan masyarakat miskin di daerah penghasil utama sagu sehingga dapat mensejahterakan mereka.
menitikberatkan pada sagu sebagai potensi yang terabaikan dalam prospek ketahanan pangan dan energi nasional. Perlu juga diperhatikan seberapa besar peluang yang ada bagi pembangunan masyarakat miskin di daerah penghasil utama sagu sehingga dapat mensejahterakan mereka.
SAGU SEBAGAI SUMBER ENERGI ETANOL
Tumbuhan sagu sangat potensial
sebagai sumber bahan baku Bioetanol. Dalam khasanah pengetahuan tentang energi
non-konfensional sagu dikenal sebagai strarch-containing crop yang memiliki
potensi penghasil energi. Dengan komposisi kimia pati sagu yang terdiri dari
karbohidrat 82,80,84,96 %, kelembaban 12,80,17,28 %, lemak 0,11-0,28 %, protein
0,03 %, abu 0,15-0,28 %, dan senyawa lain 1,18-164 %. Kandungan karbohidrat
yang tinggi ini memberikan peluang bagi sagu untuk menghasilkan etanol yang
tinggi pula.
Sesuai dengan perolehan etanol, menurut Soerawidjaja (2006) yaitu 608 liter per-ton pada pati sagu kering maka energi etanol yang dihasilkan oleh sagu tersebut mencapai 9120 liter per-hektar per-tahun. Dari hasil penelitian ini maka digunakan produksi etanol per-satu ton sagu adalah 550 liter.(Budiono, 2009)
Sesuai dengan perolehan etanol, menurut Soerawidjaja (2006) yaitu 608 liter per-ton pada pati sagu kering maka energi etanol yang dihasilkan oleh sagu tersebut mencapai 9120 liter per-hektar per-tahun. Dari hasil penelitian ini maka digunakan produksi etanol per-satu ton sagu adalah 550 liter.(Budiono, 2009)
Pati sagu
tidak dapat langsung difermentasi untuk menghasilkan etanol karena sagu
mengandung glukosa polimer. Pembuatan etanol dari pati sagu melalui proses
hidrolisis, fermentasi, destilasi dan dehidrasi. Sedangkan gula melalui
fermentasi, destilasi dan dehidrasi.
Pengembangan industri sagu di Papua pada tahap awal
direncanakan 100 ha hutan sagu per-tahun pada setiap kabupaten penghasil sagu.
Contoh hutan sagu alami di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi IJB, pengolahan
pati sagu dilakukan oleh masyarakat dan pati sagu mentah didistribusikan (dijual)
ke industri etanol. Mengingat luas hutan sagu yang akan diolah adalah 100 ha,
maka industri etanol yang dibangun pada tahap awal dengan kapasitas
100.000-200.000 liter per-tahun. Industri etanol dapat dibangun di ibukota
kabupaten atau lokasi lainnya sesuai zonasi wilayah pengembangan sagu.
(Budiono, 2009)
Pemanfaatan pati
sagu menjadi etanol merupakan salah satu usaha dalam rangka diversifikasi bahan
bakar. Hal ini akan memutus ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi.
(Bintoro et al., 2010)
PERANAN OSTUS DALAM PENGEMBANGAN PANGAN DAN ENERGI DAERAH
Jauh sebelum lahir UU Otsus, Pemerintah Kabupaten Jayapura
telah menetapkan Perda Nomor 03 Tahun 2000 tentang Perlindungan Hutan Sagu.
Perda tersebut menunjukkan bahwa telah diterapkannya pengelolaan dan pemanfaatan
sagu demi ketahanan pangan lokal.
Berbagai faktor yang menjadi kendala pemanfaatan sagu antara
lain, belum ditetapkannya sagu sebagai salah satu komoditi pangan nasional.
Terbatasnya tekhnologi pengolahan yang tepat guna. Penguasaan tanah berupa hak
ulayat menjadi faktor yang dapat menyulitkan upaya pengembangan industri sagu.
Inovasi berupa alat pemarut maupun alat pengering oven bertenaga listrik belum
diadopsi oleh masyarakat karena pengeringan pati sagu lebih memilih dengan
menggunakan sinar matahari langsung. Belum adanya kelompok tani penggarap lahan
sagu, penyuluh pertanian sagu, infrastruktur sagu untuk menggerakkan industri
dan perekonomian sagu.
Potensi sagu
yang besar tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan kemandirian Indonesia dalam
bidang pangan dan energi. Jika pembangunan sagu secara terpadu dijalankan maka
persoalan ketahanan pangan merupakan perihal yang sangat mudah dilakukan.
(Bintoro et al., 2010)
KESIMPULAN
Sagu mampu
menghasilkan pati tertinggi dibandingan dengan tanaman penghasil pati lainnya
yaitu sebesar 20-40 ton/ha/tahun sehingga berpotensi sangat besar sebagai sumber pangan dan
bioenergi disamping potesni lainnya. Hal ini dapat menjadi solusi bagi
kebutuhan pangan dan energi bagi Bangsa Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik
tentunya dengan sistem pengelolaan yang baik, sentuhan teknologi dan perrhatian
dari pemerintah serta partisipasi dari semua pihak untuk mewujudkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bintoro,
H.M.H. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor. 71 hal.
Bintoro, H.M.H.,
H.M.Y.J. Purwanto dan S. Amarilis. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press.
Bogor. 169 hal.
Budiono, A. 2009. Sagu Sebagai Bahan Bakar
Alternatif Penghasil Etanol.
http://tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/papua-kini/1589-pprn-perjuangkan-hak-hak-dasar-orang-asli-papua.
[16 April 2011]
Sufa, I.G. 2011.
Kenaikan Harga Minyak Mulai Rongrong APBN. http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/04/17/brk,20110417-328055,id.html.
[17 April 2011]
0 komentar:
Posting Komentar